UN dan Kejujuran
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBUntuk mengukur kualitas pendidikan, tidak cukup dengan tiga sampai empat pelajaran.
Ujian Nasional (UN) rupanya masih menjadi momok menakutkan bagi sederet siswa yang akan menamatkan studinya, baik dari tingkat SD, SMP, hingga setara SMA. Siswa harap-harap cemas akan sulitnya mengerjakan soal UN. Kejadian yang tidak diinginkan seringkali muncul tiba-tiba ketika mendekati pelaksanaan UN, seperti mendadak sakit, gerogi, hingga pingsan.
Tahun ini, pelaksanaan UN sedikit berbeda dengan edisi UN sebelumnya, karena tidak dilakukan secara serentak. Hal ini bertujuan agar siswa bisa melakukan UN berbasis komputer secara menyeluruh dan bergantian. Sebab, belum semua sekolah memiliki komputer yang memadai. Terangnya adalah, UN SMK dilaksanakan mulai 3-6 April 2017, UN SMA dan MA dilaksanakan mulai 10-13 April 2017. Sedangkan UN SMP dan MTs dilaksanakan dua gelombang, pertama pada 2, 3,4, dan 15 Mei 2017, dan kedua pada 8, 9, 10 dan 16 Mei 2017.
Hampir sedekade terakhir, pelaksanaan UN selalu menyorot perhatian publik. Bagaimana tidak, hasil akhir UN seringkali menjadi indikator kelulusan siswa. Inilah sebabnya UN di negara kita menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. UN notabenenya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan adanya UN, diharapkan menjadi acuan siswa untuk meningkatkan belajar siswa. Sehingga ketika muncul isu motarium UN, hanya akan menurunkan motivasi siswa untuk belajar. Siswa menduga, motarium UN hanya akan membuat belajar siswa tergolong biasa-biasa saja tanpa adanya peningkatan. UN-lah yang pada akhirnya membuat usaha siswa selama tiga atau enam tahun seakan terbayar lunas.
Sejauh ini, eksistensi UN rupanya masih menjadi sebuah kontroversial, tidak semua pihak menyiyakan, dan tidak semua pihak meniadakan. Pro dan kontra berulang kali muncul ketika pelaksanaan UN. Pihak yang kontra menyebut kualitas pendidikan tidak cukup hanya diukur melalui UN. Tentu tidak searah, sebab pelajaran tiga tahun di SMP, SMA dan SMK, serta enam tahun di SD diukur hanya dengan tiga dan enam hari. Lebih lanjut, bagaimana mungkin kualitas pendidikan hanya diukur dengan tiga atau empat mata pelajaran. Lalu, bagaimana dengan pelajaran yang lain? Kehadiran UN hanya akan membuat siswa terfokus pada pelajaran yang diujikan saja, selebihnya mereka biasa-biasa saja. Padahal, sekalipun tidak diikutsertakan dalam UN, pelajaran yang lain juga sama pentingnya.
Dan sebagian pihak yang pro akan pelaksanaan UN menyebut, pada akhirnya, UN-lah yang menentukan lulus atau tidaknya siswa. UN jugalah yang akhirnya menjadi salah satu syarat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. UN dinilai menjadi barometer kemampuan siswa, maka tidak heran banyak orangtua yang memasukan anak-anaknya ke tempat bimbel guna menambah pengetahuan yang berkaitan dengan pelajaran yang diujikan.
Seharusnya, untuk mengukur kualitas pendidikan, tidak cukup dengan tiga sampai empat pelajaran. Setidaknya kita bisa menggabungkan dengan nilai-nilai harian, seperti tugas terstruktur, praktek lapangan, UTS, UAS dan aspek lainnya. Dengan UN saja yang terbilang super ketat masih saja rawan akan kebocoran jawaban dan ketidakjujuran. Mungkin ke depannya, UN bisa menggunakan metode face to face, yakni secara lisan layaknya wawancara, sehingga meminimalisir adanya kecurangan.
Siswa bisa saja membantahnya, kelulusan tidak bisa diukur hanya dengan tiga hari. Dengan demikian, jika kita kalkulasikan, siswa yang belajar di SMP dan SMA tiga tahun setara dengan belajar tiga hari. Apabila kita ambil hikmahnya, dengan adanya UN, siswa bisa mempersiapkan sedini mungkin. Lagi pula, UN-lah yang membuat kompetisi antarsiswa semakin menarik. Dan yang paling berharga adalah, adanya UN atau tidaknya, yang paling penting adalah nilai kejujuran siswa dalam mengerjakan ujian.
Secara khusus, UN mampu meningkatkan kualitas siswa, namun tidak untuk secara keseluruhan. Karena, untuk mengukur kualitas pendidikan, tidak cukup hanya berpatokan pada nilai UN. Kita bisa menambahkan dengan adanya guru yang berkualitas, serta didorong dengan infrastruktur yang berkualitas. Barulah sebuah pendidikan bisa dikatakan berkualitas.
Pada akhirnya, UN bukanlah salah satu indikator kelulusan siswa dan kualitas pendidikan. UN hanyalah sebuah pemantapan pendidikan akan pentingnya sebuah kejujuran dalam mengerjakan ujian. Dengan demikian, UN tidak lagi menjadi beban dan momok menakutkan bagi siswa. Sekalipun demikian, kita tidak bisa memandang sebelah mata, karena dari situlah kualitas kejujuran siswa sedang diuji. (*)
Oleh: Fauzaz Su'ufan
Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN SMH Banten.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Potret Pendidikan Kita
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBUN dan Kejujuran
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler